Nama Latin:
Panthera tigris sumatrae
Harimau Sumatera merupakan satu dari enam
sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (
critically endangered).
Jumlah populasinya di alam bebas hanya sekitar 400 ekor. Sebagai
predator utama dalam rantai makanan, harimau mempertahankan populasi
mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya, sehingga keseimbangan
antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat terjaga.
Harimau Sumatera menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup:
mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam
oleh perdagangan illegal dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan
dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional,
perhiasan, jimat dan dekorasi. Harimau Sumatera hanya dapat ditemukan di
pulau Sumatera,
Indonesia.
Ciri-ciri Fisik
- Harimau Sumatera memiliki tubuh yang relatif paling kecil dibandingkan semua sub-spesies harimau yang hidup saat ini.
- Jantan dewasa bisa memiliki tinggi hingga 60 cm dan panjang dari
kepala hingga kaki mencapai 250 cm dan berat hingga 140 kg. Harimau
betina memiliki panjang rata-rata 198 cm dan berat hingga 91 kg.
- Warna kulit harimau Sumatera merupakan yang paling gelap dari
seluruh harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua.
Ancaman
Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat
secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan
perburuan. Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program
kerja sama WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk
monitoring
perdagangan satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang
subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang
memperdagangkan bagian-bagian tubuh harimau. Dalam studi tersebut
TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50 harimau Sumatera telah
diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002. Penindakan tegas
untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus segera
dilakukan di Sumatera.
Populasi Harimau Sumatera yang hanya sekitar 400 ekor saat ini tersisa
di dalam blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan
pegunungan. Sebagian besar kawasan ini terancam pembukaan hutan untuk
lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh
aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Bersamaan dengan hilangnya
hutan habitat mereka, harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat
dengan manusia dan seringkali dibunuh atau ditangkap karena tersesat
memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan tanpa sengaja dengan
manusia.
Provinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau
Sumatera. Sayangnya, sekalipun sudah dilindungi secara hukum, populasi
harimau terus mengalami penurunan hingga 70 persen dalam seperempat abad
terakhir. Di Provinsi Riau, saat ini diperkirakan hanya tersisa 192
ekor harimau di Riau.
Upaya yang Dilakukan WWF
WWF bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, organisasi konservasi
lainnya, dan masyarakat setempat untuk menyelamatkan harimau Sumatera
dari ancaman kepunahan. WWF juga berupaya melakukan pendekatan dan
bekerja sama dengan perusahaan yang konsesinya mengancam habitat harimau
agar mereka mampu menerapkan praktik-praktik pengelolaan lahan yang
lebih baik (
Better Management Practices) dan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia di tahun 2004 telah mendeklarasikan sebuah kawasan
penting, Tesso Nilo, sebagai taman nasional untuk memastikan
perlindungan gajah dan harimau Sumatera di alam. WWF juga berpartisipasi
aktif dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau
Sumatera 2007-2017 yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan RI.
Melalui momentum Kampanye Tahun Harimau 2010, WWF-Indonesia secara aktif
mendorong dimasukkannya enam lanskap prioritas harimau Sumatra kedalam
Program Nasional Pemulihan Harimau Sumatra. Program nasional tersebut
kemudian diadopsi sebagai program global oleh 13 negara sebaran harimau
dalam International Tiger Forum di St. Petersburg, Russia Nov 2010.
Landskap prioritas perlindungan harimau Sumatra tersebut adalah Ulu
Masen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai
Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.
WWF terus melakukan penelitian ilmiah tentang harimau Sumatera di Riau dengan menggunakan kamera jebakan (
camera trapping)
untuk memperkirakan besarnya populasi, habitat, dan distribusi satwa
loreng tersebut, serta untuk mengidentikasi koridor-koridor satwa liar
yang membutuhkan perlindungan. WWF--bersama dengan mitra terkait di
lapangan--juga membentuk tim patroli anti perburuan dan tim pendidikan
dan penyadaran yang bertugas membantu masyarakat lokal memitigasi
konflik manusia-harimau di daerah-daerah rawan konflik harimau.
Sumber