Harimau jawa belum punah ?
Tak banyak peneliti Harimau Jawa di Indonesia saat ini. Bahkan pemerintah pun jarang melakukan penelitian dan pengawasan terhadap endemik hutan Jawa ini. Kondisi hutan Jawa yang semakin meranggas berdampak luas pada populasi karnivora Jawa ini.
Berawal dari keprihatinan ini Didik Raharyono melakukan penelitian terhadap populasi karnivora-karnivora di Jawa. Masuk kedalam hutan Jawa untuk memasang “camera Trap” sudah ia lakukan sejak puluhan tahun lalu. Pak Didik panggilan akrabnya, masih yakin bahwa karnivora terbesar Jawa yaitu Harimau Jawa masih ada di hutan-hutan yang ada di Jawa ini. Selain berdasar pada keterangan dari banyak warga yang tinggal sekitar hutan di Jawa, beberapa bukti lain, seperti feses, cakaran, kuku, bulu dan lainnya ia dapatkan.
Mongabay: Apa yang melatar belakangi anda terus melakukan penelitian terhadap Karnivora Jawa?
Didik Raharyono: Belum banyak masyarakat kita yang memperhatikan kelestarian spesies karnivora di Jawa. Dari segi keilmuan terhadap jenis-jenisnya dan adanya kecenderungan penyusutan hutan sebagai habitat bagi golongan karnivora di Jawa. Sedangkan sebagian besar Karnivora merupakan top predator yang dapat dijadikan Bio-indikator habitat yang masih baik.
Mongabay: Apa saja karnivora endemik di Jawa ? Berapa jumlah populasi mereka?
Didik Raharyono: Harimau Jawa populasinya belum diketahui, bahkan dianggap punah; Macan tutul jawa: estimasi meta populasi dari sebaran habitat yang masih tersisa dari Kawasan Konservasi maupun Non-Konservasi sampai saat ini masih sekitar 500-an ekor (perkiraan kasar, belum dilakukan pendataan secara ilmiah). Lalu Kucing Bakau, tetapi saya belum tahu perkiraan populasinya, sebab spesiesini juga hampir tidak terpantau. Lalu Biul jawa juga endemik, dan belum diketahui populasinya di alam, Sigung atau teledu juga endemik jawa, populasinya belum diketahui.
Mongabay: Sejak kapan anda melakukan penelitian terhadap Karnivor Jawa ? Apa saja yang anda dapatkan sampai saat ini ?
Didik Raharyono : Sejak tahun 1997 khusus untuk harimau Jawa, lalu mulai 2003 meneliti macan tutul. Dan setelah 2006 merambah ke jenis kucing kecil. Dari pengalaman tersebut, saya memperoleh banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang tidak saya jumpai saat kuliah di Biologi UGM.
Mongabay: Karnivora Jawa tidak bisa di lepaskan dari habitanya yaitu Hutan. Bagaimana anda melihat kondisi Hutan di Jawa ?
Didik Raharyono : Karnivora memang golongan jenis hewan yang hidupnya membutuhkan teritori. Kondisi hutan di jawa saat ini sudah banyak terdegradasi. Hutan dataran rendah Jawa yang sebenarnya berpotensi memiliki kekayaan hayati lebih tinggi dari pada hutan di pegunungan, juga hampir hilang (hanya tersisa di beberapa Taman nasional). Selain itu, untuk hutan dataran rendah telah banyak digunakan sebagai kawasan hutan produksi yang menggunakan sistem penanaman pohon yang sejenis. Selain itu, kondisi hutan di jawa saat ini sudah terfragmentasi menjadi beberapa potongan, mirip kondisi kepulauan kecil yang ada di ‘samudra’ (mengalami insularisasi). Sedangkan luas hutan di Jawa saat ini Untuk kawasan hutan Non Konservasi luasnya sekitar 2,46 juta hektar, sedangkan untuk Kawasan Konservasi darat di P Jawa hanya sekitar 3,5 ribu kilometer persegi.
Mongabay: Anda masih terus meneliti Harimau Jawa.Apakah Harimau Jawa benar sudah punah?
Didik Raharyono : Belum. Menurut saya harimau jawa belum punah.
Mongabay: Apa yang menjadi alasan anda mengatakan harimau jawa belum punah?
Didik Raharyono : Sejak tahun 1997, saya menemukan langsung beberapa bukti bekas aktivitas harimau jawa berupa: jejak tapak kaki; cakaran di pohon; sampel feses harimau jawa dan rambut harimau jawa dari pohon cakaran dan sudah saya Seminarkan secara Nasional di UC UGM tahun 1998; dan menghasilkan rekomendasi untuk dilakukan PK atau peninjauan ulang atas pernyataan punah tersebut. Bahkan sampai sekarang saya malah mendapatkan sekitar 20-an titik informasi terbaru tentang eksistensi harimau jawa, terutama setelah saya membuat blog: Javan Tiger Center’s Blog.
Tahun 2004 kami menjumpai juga feses harimau jawa dengan diameter sekitar 7 cm dan tahun 2006 ada kesaksian perjumpaan dari TNI. Tahun 2008 saya menemukan sampel kulit harimau loreng yang dibunuh dari Jawa Tengah. Tahun 2008 juga menjumpai sisa kuku yang masih ada darahnya milik harimau Jawa yang dibunuh dari jawa barat, bahkan tahun 2009 saya mendapatkan sampel kulit lagi yang dibunuh dari Jawa timur. Secara mikroskopis, untuk rambutnya sudah menunjuk ke harimau loreng bukan tutul; tetapi perlu analisis lebih lanjut ke tingkat DNA, yang saat ini sedang kami persiapkan Bahkan dua minggu lalu rekanan yang dari Jawa Timur juga menginformasikan lagi tentang kulit dan rambut kumis dari harimau Jawa yang dibunuh Desember 2012. Sedangkan untuk informasi perjumpaan dan kesaksian beberapa warga masyarakat tepi hutan tentang perjumpaan dengan harimau Jawa sampai 2012 belum saya verfikasi lebih lanjut. Tahun 2004 juga ada mahasiswa Universitas Jenderal Sudirman, Puwokerto, yang melihat harimau loreng mati di lokasi desa bermainnya di Lereng Gunung Slamet, Jawa tengah. Artinya, dari sebaran (terutama spesimen) yang saya koleksi, jelas masih adanya eksistensi harimau Jawa.
Mongabay: Bagaimana peran pemerintah dalam melindungi karnivora Jawa selama ini?
Didik Raharyono : Menurut saya masih kurang peduli. Salah satu contoh dimana tahun 2009 Macan tutul Jawa masuk ke dalam 17 jenis prioritas satwa konservasi karena mempunyai status, justru tahun 20012 kemarin, macan tutul dikeluarkan dari prioritas konservasi, sehingga hanya ada 14 jenis saja (namun saya kurang hafal jenis-jenisnya). Meskipun pemerintah memiliki Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam; namun “greget” untuk perlindungan spesies jauh dari yang diharapkan. Sedangkan BKSDA juga kurang berminat melindungi macan tutul yang berada di luar kawasan konservasi: hal ini terbukti dengan tidak adanya data populasi macan tutul di luar kawasan konservasi seperti hutan lindung dan cagar alam.
Mongabay: Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga populasi karnivor dan hutan di Jawa ?
Didik Raharyono : Pendataan karnivora harus dilkukan di kawasan konservasi dan non konservasi, lalu melakukan pembinaan habitat dengan melakukan kajian ‘daya dukung habitat’; serta patroli rutin untuk mencegah adanya perburuan jenis prey carnivor (sebab ini merupakan sumber pakan spesies karnivor). Baru setelah itu dilakukan pola pengelolaan spesies secara menyeluruh dengan melakukan koneksitas informasi dan data dalam pengelolaan yang lebih menyeluruh.
Selain itu dikarenakan opini “PUNAH” sudah melekat kuat di kalangan pemerintah, sehingga selalu menganggap bahwa masyarakat tidak bisa membedakan antara macan tutul dengan macan loreng, sebab dalam kosakata masyarakat Jawa memang hanya di kenal kata Macan untuk menyebut “Tiger” dan “Leopard.” Kata penjelasnya hanya setelah dibelakang kata macan itu yakni loreng, tutul, ataupun rembah dan lainnya. Sehingga dianggap bias jika masyarakat bertutur perihal macan loreng. Mungkin pemerintah harus mau bersama masyarakat lokal yang memiliki profesi sebagai “pemanen hasil hutan” melakukan kajian bersama atas lokasi-lokasi yang dilaporkan dilihat harimau jawa, dipantau menggunakan kamera trap, kalau perlu memberikan pinjaman terhadap masyarakat untuk melakukan pemasangan kamera itu, di lokasi di mana harimau Jawa pernah di jumpai.
Sumber
0 komentar: